Rumah kayu rakitan atau knocked down mendapatkan pasar baru, yaitu Timur Tengah. Permintaan dari kawasan tersebut terus meningkat. Di saat permintaan naik pesat, pengusaha menghadapi kendala harga bahan baku dan teknologi.
Rumah kayu rakitan (knocked down), sekarang, semakin sering kita lihat berdiri kokoh di tengah kota-kota besar. Lazimnya, rumah-rumah tersebut terbuat dari kayu ulin, meranti, cempaka, maupun kelapa.
Modelnya beragam, mulai dari gazebo, rumah panggung, hingga rumah minimalis. Jenis yang paling banyak ditemukan berupa rumah panggung ala Palembang, Manado, serta Bali.
Sejak awal tahun 2000, bentuk indah rumah jenis ini memang memikat kian banyak orang. Gempa yang sering mengguncang membuat permintaan rumah ini cenderung naik. Sebab, rumah ini dianggap cukup tahan guncangan gempa.
Melihat beragam kelebihan itu, tak perlu heran jika banyak orang dari kalangan menengah atas di Padang, Palembang, Lampung, Jabodetabek, Bandung, Semarang, Bali, sampai Balikpapan memesannya. Apalagi, rumah kayu ini lebih indah ketimbang rumah beton. “Tidak kalah dari rumah biasa, rumah knocked down juga bisa bertahan hingga puluhan tahun,” kata Direktur CV Woloan Permai Fickry Pantow. CV Woloan adalah salah satu produsen rumah knocked down di Tomohon, Sulawesi Utara.
Yang menarik, selain pasar dalam negeri, permintaan rumah knocked down pun banyak datang dari luar negeri. Kini, pasar ekspor itu kian bertambah lantaran permintaan dari Arab Saudi dan Uni Emirat Arab terus meningkat.
Sejak awal 2011, konsumen dari dua negara itu banyak memesan dan menjadikan rumah bergaya daerah Indonesia sebagai tempat peristirahatan seperti vila atau resor. Maklum, bisnis pariwisata di kawasan Arab tengah tumbuh pesat.
Permintaan yang datang dari pembeli di kawasan Arab ini tergolong baru. Sebab, sebelumnya, peminat rumah jenis ini lebih banyak datang dari negara yang mengalami musim dingin, seperti Jepang, Eropa, Australia, dan Amerika Serikat.
Fickry mengaku mendapat pesanan 200 unit rumah ukuran 120 meter persegi (m²) dari Dubai dan Arab Saudi untuk kontrak selama satu tahun. Harga yang disepakati adalah Rp 2,15 juta per m². Dus, satu unit rumah ia banderol Rp 285 juta. Harga itu sudah termasuk ongkos kirim dan tukang. Padahal, di pasar lokal, harganya cuma Rp 1 juta per m².
Permintaan baru itu langsung mendongkrak omzet penjualan CV Woloan Permai. Jika tahun 2010 perusahaan asal Moroan, Tomohon ini menjual 60 unit rumah, di awal tahun ini, kapasitas produksi 100 rumah per bulan sudah mentok.
Apalagi, permintaan domestik juga tinggi, sekitar tiga sampai lima unit sebulan. “Permintaan sekarang melonjak 60%, kuota kami sudah habis,” sambung Fickry. CV Woloan menentukan kuota ini dengan mempertimbangkan kemampuan produksi rumah dan ketersediaan bahan baku. Dengan margin laba 40%–50% dari setiap unit rumah, Fickry mengakui, bisnis rumah knocked down ini menjanjikan.
Bahan baku langka Agus Shofyan, Direktur CV Balisky Indonesia yang berada di Singaraja, Bali, juga punya cerita tak jauh berbeda. Ia melihat, kini, konsumen Timur Tengah tengah butuh banyak rumah knocked down. Ia sempat mendapat pesanan 200 unit rumah ukuran 100 m² awal tahun ini.
Meski tidak menyebutkan jumlah, UD Gazebo-Production, produsen rumah knocked down di Palembang, sempat pula mendapatkan pesanan serupa. Gazebo-Creation sudah pernah mengirim rumah jenis ini ke Spanyol dan Malaysia.
Namun, di pasar Timur Tengah, nasib dua perusahaan ini tidak seberuntung CV Woloan Permai. Terkendala teknologi dan bahan baku, CV Balisky dan UD Gazebo terpaksa merelakan laba di depan mata melayang. Pasalnya, pasar Timur Tengah menuntut kualitas kayu lebih baik. Maklum, cuaca di kawasan itu sangat panas sehingga membutuhkan kayu dengan kadar air rendah.
Menjawab kebutuhan itu, kayu asal Indonesia harus diproses lagi. Di sinilah, masalah menghadang “Kami tidak punya teknologi untuk pengeringan (oven) kayu agar kadar airnya sedikit,” kata Zuhadi, pemilik UD Gazebo-Creation.
Selain teknologi, kenaikan harga kayu juga menjadi persoalan berat. Fickry bilang, selama ini, pengusaha di Tomohon mendapatkan pasokan bahan baku dari dua cara. Pertama, membudidayakan sendiri. Kedua, membeli dari pemasok di Kalimantan, Indonesia Timur, serta beberapa daerah lain.
Sayangnya, jumlah permintaan pengusaha rumah rakitan itu lebih banyak ketimbang stok bahan baku. Harga bahan baku kayu pun naik tinggi. Di 2009, harga satu meterkubik (m³) kayu meranti hanya Rp 850.000. Sekarang, harganya sudah mencapai Rp 2 juta lebih per m³.
Persoalan kian pelik sejak muncul kewajiban kayu ekspor kudu bersertifikasi demi menjamin kayu itu bukan hasil selundupan atau penebangan liar. “Ini kami siasati dengan memproduksi satuan-satuan dalam jumlah kecil,” terang Agus.
Sumber : www.properti.kompas.com/Rumah.Kayu.Rakitan.Diminati.Timur.Tengah
Cari Rumah ?? Gak perlu 123, Hanya KITA Ahlinya :-)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar